Selasa, 16 September 2014

Saat Kita Terlampau Letih dan Terlalu Batuk Untuk Bercinta


Demi malam saat kita berbagi selimut berdua, terlampau letih dan terlalu batuk untuk bercinta

Aku merengek manja minta dipeluk semalaman. Satu kali itu saja, kau mengiyakan tanpa banyak suara. Kau biarkan aku mengakuisisi lengan atasmu, telapak tanganmu beristirahat di pinggulku. Kita seperti dua belut raksasa saling membelit, tak membiarkan satu sama lain terbawa arus yang kian sengit.
Demi malam saat kita hanya ingin tidur saja
Demi malam saat kita hanya ingin tidur saja via 8tracks.com
Sorongan pipi kanan, kiri dan dahimu tamat terkecup pelan. Kukhidmati gulir vena di dadamu, kau hapalkan garis bibirku. Aku sendu tapi bahagia, malam itu.
Sesekali tanganku menjangkau punggungmu. Berusaha meredakan rejan batuk dengan usap ringan jemariku. Tentu saja aksi itu tak sebanding dengan cairan anti ekspektoran yang berdiri manis di ujung kamarmu, menunggu dihabiskan dalam satu kali tenggak. Tapi dari dulu kau selalu benci obat. Alasan klasikmu:
“Obat hanya untuk orang yang lemah”
Oh Sayang, begitu merasa kuatkah dirimu? Keberatankah dirimu jika tak nyaman tidur karena rasa gatal yang mendera tenggorokanmu?
Kau tundukkan kepala, seperti radar yang hendak mencari wajahku. Dengan muka sedikit malas kuangkat wajah, tanggap menyambut bibirmu. Tak terduga kau hanya menggeleng pelan. Malam memang sudah terlalu tua untuk kita melepas tanda cinta. Ada tanggung jawab besar yang menunggu esok harinya. Lebih baik malam ini kita pejamkan mata.

Demi malam saat kau bertanya, “Bagaimana jika dia?”

"Bagaimana jika dia?"
“Bagaimana jika dia?” via anikalondon.com
Sayang, sudah berapa banyak nama panggilan yang kusematkan padamu? Sudah berapa banyak kau hapal kecerobohanku? Sudah cukup dalamkah kita saling tahu riak hati tanpa perlu bertemu? Rasa-rasanya sudah enggan kucerna pilu bersamamu. Hatiku tahu, pun mungkin kau juga begitu :
Kita lebih baik begini. Tetap bersama, tetap ada. Tanpa jaring apa-apa.
Aku tetap wanita, mudah tersulut emosi dan tak pandai menahan air mata. Berkata, “Iya, tak apa” berarti mengembalikan kunci hatimu ke tempat semula. Sama sakitnya dengan berkemas dan pergi saat aku masih benar-benar cinta. Dengan selimut menutupi tubuh bagian atas, kubangkitkan badanku. Kupandangi dalam-dalam matamu, mencari kesungguhan di situ.
Tanganmu menarik lenganku, seakan jadi isyarat untuk menyuruhku kembali berbaring di lengan atasmu. Kau tahu pasti bahwa aku tak akan menolak keinginanmu. Tapi juga cukup mengerti bahwa itu artinya semalam suntuk kau harus menghadapi tangisku.
Sempat seucap kata pergi kembali meluncur ke udara. Kau bilang tak ingin aku tiada. Bibirku mengoceh bilang ia perlu ada. Namun hatiku, sesungguhnya, tak ingin aroma nafasmu hilang dari udara. Oh Tuhan, berapa banyak kau ciptakan bentuk cinta?
Sayang, jika cinta memang merelakan yang dikasihi mendapat perhatian dan kasih sebaik-baiknya ; maka kuangkat topi untuk semua novel dan film picisan di luar sana.Dulu kucibir mereka, namun kini aku tahu bagaimana rasanya.
Aku tak akan keberatan saat tahu kau menyandingnya yang menangkupkan tangan pada langit yang sama. Betapa mudah kulepas kekhawatiran kecilku soal kebersihan kamarmu, perkara kenyangnya perutmu — saat kau dapat wanita yang bijak mengurusmu.
Kamu ada, bersama wanita yang tepat, itu cukup bagiku. Sedihkah aku? Ya, tentu saja. Tapi cintaku padamu tak boleh melebihi cintaku padaNya, bukan? Inilah satu-satunya jalan mendamaikan gejolak hati tak berkesudahan.
Ayo, kita tidur saja”, ucapmu sambil melingkarkan lengan di perutku. Argumen dan drama dini hari terhenti di situ.

Demi malam saat kusebut kau dalam doa-doa panjang

Dalam desau sehalus perdu aku tetap mendoakanmu
Dalam desau sehalus perdu aku tetap mendoakanmu via galleryhip.com
Hampir 5 bulan berlalu sejak dunia menetapkan batas akhir atas kekitaan yang kita punya. Terkadang ada rasa perih menghampiri ketika kusadar tak akan lagi menemukan kelakarmu di akhir hari yang panjang. Saat bukan lagi kamu yang bisa kuhampiri untuk kemudian berdua mencari makan malam.
Tapi kau tahu bukan? Dalam desau sehalus perdu aku terus mendoakanmu.
Tetap, mendoakanmu. Supaya tiap pagimu tak pilu, semoga kau tak terlalu sering keluar tanpa menenggak minum dulu. Agar harimu hangat dan mudah. Dan kau tak malas memasang jas hujan demi tak basah. Untuk perempuan selanjutnya yang kau temui. Semoga kalian bisa berdoa dengan satu cara pasti. Tak sendiri-sendiri.
Waktu kau membuka pagar, mengelap keringat dengan satu tangan, kemudian berjalan tanpa helm. Ingatlah selalu.
Ada doaku, terselip di situ.
Mungkin di sela kantung jaketmu.
Atau dalam sobekan jok motormu.
Tak pernah jauh-jauh, ia disitu.


Tuhan baik, Tuhan-mu tahu, Tuhan ku pasti mengerti. Mereka sedang mengatur jalan terindah bagi dua hambanya yang tak bisa berdampingan, namun bukan berarti harus saling meninggalkan.

(Pagi berikutnya, mataku bengkak. Semoga ikhlas juga turut membengkak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar